TULISAN II
A. Cerpen yang Berkaitan dengan
Hubungan Manusia dan Cinta Kasih
Cerpen
OH, BUNDA!
oleh: Alief Murobby
Rintik-rintik hujan akhirnya mulai turun, membasahi kota
Jogja. Mendung yang sedari tadi menggelayut, kini mulai memuntahkan isinya. Beberapa
pengendara motor mulai menepikan kuda besi mereka untuk sekedar berteduh
ataupun memakai jas hujan. Dinginnya air hujan rupanya tak mampu
mendinginkan panasnya hati Ava. Tanpa memedulikan tangannya yang mulai
kebas akibat sengatan udara dingin dan bajunya yang basah kuyup, Ava terus
menggeber Astrea Grand-nya menuju kearah barat daya, tepatnya menuju kearah
alun-alun utara keraton. Ditebasnya jalanan dengan sangat lincah, tak
peduli dengan orang-orang yang mengumpat saat terkena cipratan air dari
motornya. Pikirannya sangat kalut. Lalu tanpa diinginkannya, Ava
kembali mengingat peristiwa yang membuat hatinya sangat marah itu.
***
"Bun, uang buat bayar kuliah semester ini mana?" Tanya
Ava pada ibunya yang sedang menghitung uang hasil penjualan nasi pecel yang
dijualnya tiap fajar di stasiun Lempuyangan. Raut muka ibunya langsung
berubah. Gelisah. "Bunda cuma dapet segini, Le," ucap Bunda
seraya menyerahkan seluruh uang yang tadi mencatat semuanya. Ava agak
kaget begitu menghitungnya kembali. Cuma dua ratus ribu
lebih sedikit. "Bunda ini gimana sih? Kan aku udah minta
sejak seminggu yang lalu, masak cuma segini? Kalau cuma segini, jelas
nggak akan cukup. "Nada suara Ava mulai meninggi. Warna wajahnya pun
mulai memerah, pertanda emosinya mulai tersulut. Bunda tahu persis hal
itu. Insting seorang ibu, mungkin. "Tapi Bunda hanya punya uang
segini, Le. Nanti kalau dagangan Bunda laris, uangnya buat kamu
semua. Bu Nugroho, tetangga kita yang kaya itu, juga bersedia meminjami
ibumu ini uang. Ndak usah kuatir, "ucap Bunda dengan logat khas
Jogja, sembari mengelus kepala anak laki-lakinya itu, berusaha meredam
emosinya. Dengan kasar, Ava menyentakkan tangan ibunya, lalu berteriak
marah. "Bunda yang cuma tamat SMP tau apa?! Kalo besok aku nggak
bayar biaya kuliah semester ini, aku bisa di-DO tau! "Bentak Ava
keras. Saking kerasnya, Nina adiknya, sampai keluar dari
kamarnya. "Kakak apa-apaan sih?" tanya Nina. Ava
menjawabnya dengan ketus, "Diem kamu, anak kecil!" "Kakak
tuh yang diem!" Emosi Nina ikut tersulut. "Bicara sama orangtua
tuh yang sopan. Malah dibentak-bentak. Dasar durhaka!
" Plak! Sebuah tamparan melayang ke
pipi Nina. "Jaga mulutmu!" teriak Ava. "Kakak tuh
yang jaga mulut!" Nina langsung membalas sambil memegangi pipi kirinya
yang memerah akibat tamparan Ava. Air mata mulai menggenang di pelupuk
matanya. Sang Bunda langsung memeluk putrinya. Dia juga mulai
menangis. "Udah, udah. Jangan berantem, "kata Bunda
lirih. Ava langsung beranjak pergi meninggalkan kedua perempuan
itu. Sang Bunda hanya berucap pelan,
berulang-ulang. "Astaghfirullah." Tak terasa, Ava telah
sampai di alun-alun utara. Suasana sore itu tak terlalu ramai, hanya ada
beberapa lapak pedagang yang buka. Ava memilih duduk di salah satu bangku
yang kosong, tepat di bawah pohon mahoni untuk mengeringkan pakaiannya yang
basah dan menghilangkan sisa-sisa kejengkelan yang masih mengndap di dasar
hatinya. Beberapa pengamen jalanan memainkan alat musik mereka. Ada
gitar, harmonika, kendang, dan biola. Sederhana namun tetap nikmat untuk didengar. Tiba-tiba
seorang biola jalanan duduk disampingnya. Kulitnya hitam, tapi raut
wajahnya jenaka. "Mau request lagu, Mas? Cuma seribu per lagu,
"tawar si biola. Ava merogoh sakunya dan menemukan uang dua ribu rupiah. Disodorkannya
uang itu pada si biola. "Maen lagu apa aja, yang penting enak di
telinga. Kembaliannya ambil aja. " Si biola langsung bersiap
mengambil nada awal. Saat biola mulai digesek, Ava kaget. Dia tahu
persis lagu itu. Tak disangka, biola itu memainkan lagu bunda karya Melly
Goeslaw. Tanpa sadar, Ava ikut bernyanyi mengiringi alunan lagu.
Kata
mereka diriku slalu dimanja
Kata mereka diriku slalu ditimang
Kata mereka diriku slalu ditimang
Air mata Ava keluar tanpa
bisa ditahannya. Ia terus menangis sampai si violin selesai membawakan lagunya. "Kenapa, Mas? Terharu, ya? Lha wong keturunan Mozart, je! Hehehe,
"canda si biola. "Mas sih enak masih punya motor," lanjutnya. "Punya rumah, punya keluarga. Pasti enak. Nggak kayak saya. Hidup pindah-pindah. Rumah nggak punya. Orangtua nggak tau dimana. " Violin itu terdiam sejenak. "Tapi meskipun gitu, saya
tetap bersyukur kok. Syukur masih bisa makan. Syukur masih bisa maen biola. Syukur
masih bisa hidup. " kata pengamen itu membuat Ava
tersadar. Apa yang telah kulakukakan? batin Ava. Padahal Bunda telah bersusah payah
menghidupiku, tapi aku malah membentaknya. Aku
bahkan tega menampar adikku sendiri! Dasar bodoh! Ava merutuki kebodohannya. Dia menyesal, sangat menyesal
telah mengasari ibunya dan menampar adik satu-satunya. Violin itu berkata lagi, "Saya pernah didawuhi seorang Kyai. Beliau berkata, 'Untuk urusan dunia, jangan lihat ke atas, tapi
lihatlah ke bawah. Lihatlah orang yang hidupnya
lebih susah dari kita, agar kita bersyukur sudah diberi nikmat lebih dari orang
lain. ' Gitu, Mas. Lho, lho,
Mas. Mau kemana? Pulang? "Tanyanya begitu
melihat Ava bergegas menyalakan motornya. Ava ingin segera pulang ke
rumah. Ke pelukan bunda. Si violin menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kebingungan. "Apa aku salah bicara, ya?" Saat Ava telah sampai dirumahnya yang berada di kawasan Danurejan,
dilihatnya sang Bunda sedang duduk di balkon. Nina duduk disamping ibunya dengan muka ketus. Begitu melihat ank laki-lakinya pulang, wanita itu segera beranjak
mendekatinya. Senyum terpatri di wajah keibuannya. "Alhamdulillah Le, kamu sudah pulang. Udah Bunda bilang, soal biaya kuliah, kamu nggak usah kuatir.
"Sambil bicara, Bunda merogoh kantong bajunya lalu menarik sebuah kalung
emas. Bunda tersenyum lagi. "Nanti kalung ini akan
Bunda gadaikan. Uangnya buat kamu semua. " Mendengarnya, Ava semakin merasa dirinya adalah anak yang sangat
durhaka. Kalung itu adalah mas kawin yang diberikan
ayahnya saat menikahi ibunya dulu. Kalung yang sangat disayangi
ibunya. Ia sering melihat ibunya menangis sambil
memeluk kalung itu, mungkin karena teringat pada ayah yang telah lama
meninggal. "Bunda, pokoknya jangan pernah menjual
kalung ini. Soal biaya kuliah, biar nanti Ava cari
sendiri. "Ava berkata sambil menahan air matanya. Bunda menatapnya dengan bingung. "Lho kok ..." Tanpa memberi kesempatan pada Bunda untuk
bertanya, Ava memeluknya dengan sangat erat. "Maafin Ava, Bunda," ucap Ava lirih, lalu ia menangis
dalam pelukan ibunya. Bunda hanya tersenyum kecil,
lalu berujar sambil mengelus kepala Ava. "Ndak papa, ndak papa. Kamu ndak pernah punya salah sama Bunda. Yang penting, minta maaf dulu sama adekmu. Tadi dia nangis terus. "Ava melepaskan diri dari sang bunda,
lalu berjalan menuju Nina yang terus menatapnya. Ava berlutut di depan adiknya. "Maafin
kakak, ya?" Nina memandang kedua bola mata Ava dengan lekat, lalu
tersenyum. "Apologies accepted," jawab Nina,
memaafkan kakaknya. Ava lalu meraih Nina ke dalam
pelukannya. Sang Bunda lalu memeluk kedua anaknya dengan
sayang. Saat itu Ava bersumpah, dia takkan pernah lagi
membiarkan ibu dan adiknya menangis. Dia akan membahagiakan mereka,
apapun yang terjadi. Tak ada yang dapat
menghentikannya. Tak ada!
B. Karya Lagu tentang Hubungan Manusia dan Keindahan
Warna
abu-abu gelap dan hitam mengisi dunia di mana saya tinggal
Tidak
ada perasaan lain yang mungkin bisa lebih buruk daripada ini
Dimana
dulu sebuah ruangan yang penuh dengan tawa & Canda
Sekarang
berdiri kesepian, kekosongan dan keputusasaan.
Kenangan
Anda tampaknya merayap di sekitar sudut-sudut pikiran saya
Habisnya
menghantui gambar wajah Anda yang tidak akan menurun
Sebuah
besar emosi bahwa tubuh saya tidak dapat berisi
Mengisi
jiwa saya dengan tak tertahankan, kesedihan kesedihan dan rasa sakit
Oh,
Betapa aku merindukan untuk menahan Anda dalam pelukanku hanya sekali lagi
Dan
memberitahu Anda bahwa hal-hal akan terjadi lagi, seperti sebelumnya
Tapi,
sebagai penyerap kenyataan, aku tahu bahwa tidak akan pernah
Untuk
pilihan yang saya buat dalam hidup saya telah disegel nasib kita
Tak
seorang pun bisa membayangkan bagaimana celaka hati saya sakit
Dan
bagaimana saya sangat menyesal bahwa Anda sudah harus membayar untuk kesalahan
saya
Jika
aku bisa kembali ke masa lalu, dan mengubah hanya satu kesalahan yang saya
lakukan
Aku
akan kembali ke Jam, untuk kedua, pada hari aku kehilangan Anda.
Anankku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar